Dunia Kerja Adalah Kompetisi, Agar Menang Begini Strategi Saya

Isu lapangan pekerjaan merupakan topik sentral di negara dan masyarakat manapun seiring bertambahnya populasi dunia. Di Indonesia permasalahan yang sama mencuat setiap tahun seiring dengan laju pertumbuhan penduduk negeri ini. Hal ini berkorelasi dengan akses kesempatan kerja bagi warga negara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 mencatatkan jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai angka 133,94 juta orang terdiri dari penduduk bekerja sebanyak 127,07 juta orang dan pengangguran 6,87 juta orang.

Bekerja adalah hak yang konstitusional, dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Dalam konteks hak bekerja, konstitusi menegaskan bahwa tanggungjawab menyediakan lapangan pekerjaan ada pada pemerintah atau negara. Pemerintah telah menyediakan sekitar 9,38 juta lapangan pekerjaan sepanjang 2015-2018.

Jika dilihat dari sisi kebijakan (policy) sebenarnya pemerintah juga sudah membuat banyak sekali terobosan kebijakan pengentasan pengangguran. Dikutip dari laman presidenri.go.id, misalnya, pembangunan infrastruktur, percepatan izin investasi, pembenahan pendidikan vokasi, dan dana desa. Walaupun tentu saja pemerintah tidak berjalan sendiri karena turut menggandeng pihak swasta baik di industri, jasa, pertanian, dan lain sebagainya, namun demikian semua itu belum mampu menyingkirkan persoalan tuna karya ini.

Kompetisi

Saya mengibaratkan dunia kerja seperti sebuah kompetisi. Bagaimana tidak? Lihat saja, semua berlomba-lomba dalam memperoleh pekerjaan. Calon pekerja harus melalui proses seleksi ketat berdasarkan kompetensi dan yang terbaik dari peserta itulah yang terpilih. Sesudah bekerja pun para pekerja dituntut berkinerja baik. Karena hal tersebut juga, dunia kerja tak peduli pemerintah atau swasta menerapkan sistem punishment dan reward.

Ketika masih di bangku kuliah, saya sering menemukan banyak sekali teman-teman yang gelisah memikirkan karir mereka setelah lulus kuliah. Gelisah kemungkinan tidak dapat langsung bekerja atau tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dan lain sebagainya. Gelisah atas munculnya para kompetitor di lapangan. Kemudian ketika bertemu dengan orang-orang di pergaulan masyarakat pun banyak yang mengeluhkan tidak ada pekerjaan bagi mereka. Apalagi beberapa dari mereka tidak memiliki skill atau ketrampilan khusus.

Saya pun begitu. Bahkan selama tahun pertama saya dibayangi kekhawatiran yang sangat berlebihan. Saya mencemaskan masa depan. Saya sulit keluar dari sebuah stereotip bahwa dunia kerja hari ini jika tidak punya orang dalam akan susah bekerja. Bayangkan! Kondisi ketiadaan relasi dan praduga negatif itu merupakan sebuah ganjalan besar saya melangkah kala itu.

Akhirnya setelah berdinamika cukup lama, saya memahami bahwa oleh karena hidup adalah sebuah kompetisi, maka harus dimenangkan. Saya harus jawara apapun tantangannya, tingkatan kesulitannya atau hasilnya. Berani mencoba meski gagal pun adalah kemenangan atas tindakan kepencundangan terhadap keengganan berproses.

 Strategi

Menukik ke dalam pembahasan tulisan ini, sebenarnya kaum muda sebagian besar menderita kekhawatiran terhadap aksesabilitas pekerjaan dan akseptabilitas di dunia kerja. Namun hal tersebut tergolong biasa. Perlu dipahami bahwa sebagai sebagai anak-anak muda kita semestinya tidak boleh menyerah (never give up) dalam keadaan apapun. Karena kita sebetulnya punya banyak sarana dan pilihan untuk menyiasati dunia kerja saat ini. Bila kita belum mampu sejajar dengan barisan pengentas pengangguran atau pencipta lapangan pekerjaan, maka setidaknya kita wajib mempersiapkan diri sebagai calon pekerja yang terbaik dalam kompetisi di dunia kerja. Sehingga dunia kerja dapat memilih kita menjadi bagian dari kehidupan mereka. Dengan kata lain, kita harus kreatif (creative) mencari strategi.

Apa strategi saya menghadapi dunia kerja?

Pertama, konsisten dalam berprinsip

Saya yakin semua orang sukses berprinsip. Jika tidak demikian maka bang Billy Boen tidak akan menulis buku “Young on Top: 30 Rahasia Sukses di Usia Muda (2009)” atau sia-sia buku yang telah mengubah banyak orang ini. Prinsip merupakan nilai atau kaidah yang menjadi dasar atau pedoman seseorang bertindak, bertutur, dan bersikap. Saya keluar dari krisis kepercayaan diri melalui penanaman nilai dan persepsi bahwa saya hanya bisa sukses dengan percaya diri (confident), selalu berpikir positif (positive thinking), berpikir dan bermimpi besar (think big & dream big), jangan berasumsi (do not assume), memperbanyak relasi (make a lot of friends) dan mulai melakukan sesuatu yang baik untuk diri kita (just perform and do the best).

Saya meyakini tidak akan pernah ada permasalah yang tidak ada jalan keluarnya. Tidak pernah ada kata “tidak bisa’. Apalagi bagi anak-anak muda. Hingga hari ini, selain prinsip-prinsip di atas, ada empat prinsip utama yang saya pedomani, yaitu:

  1. Unggul. Prinsip ini bermakna menjadi yang terbaik. Saya harus menjadi unggul agar memenangkan pasar. Caranya menaikan kapasitas dan kapabilitas secara hardskill maupun softskill;
  2. Humanis. Humanisme adalah sebuah ajaran yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia dalam segala hal. Bagi saya humanis disini ibarat perkataan Thomas Hobbes, “homo homini socius” yang berarti manusia adalah teman bagi sesama manusianya. Dunia kerja ada untuk kemaslahatan manusia, maka pekerja harus memiliki jiwa humanisme yang tinggi. Pemberi kerja menyukai pekerja humanis;
  3. Inklusif. Kita harus terbuka terhadap adanya kehidupan beragam serta pluralisme nilai dan prinsip. Jangan menutupi diri dengan perkembangan di sekitar kita. Tetapi tetap menggunakan filter agar informasi atau ilmu yang kita terima dapat mengokohkan visi dan misi hidup kita; dan
  4. Berintegritas. Lakukan yang terbaik dan benar meskipun orang lain tidak melihatnya. Perbuatan kita adalah cerminan diri kita.

Kedua, memetakan hal-hal yang menjadi potensi diri dan latih setiap saat

Potensi di dalam diri seseorang terdiri atas softskill dan hardskill. Ada kalanya kita tidak menyadari talenta kita sehingga tidak dipergunakan atau mungkin kita tahu namun kurang mengembangkanya. Pada hal sesungguhnya kemampuan seseorang adalah aset bagi dirinya.

Sebagai contoh, saya baru mengenali diri saya sebagai seorang yang tertarik pada kegiatan menulis dan membaca ketika berkuliah. Walaupun terbilang baru, namun sejak saat ini saya mencoba tekun melatih diri untuk membaca dan mulai giat menulis. Pada akhirnya, saya berhasil secara rutin mempublikasikan tulisan-tulisan saya di media massa seperti koran dan majalah serta di media daring. Semakin rutin saya membaca, semakin rutin saya menulis.

Saya merasa kedua hal tersebut membawa saya pada banyak perenungan. Melalui tulisan saya juga belajar peka terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Hal ini karena biasanya proses menulis kadang-kadang memaksakan kita membuat analisis sosial, kajian atau penelitian berbasis kepustakaan atau turun langsung ke lapangan untuk mengetahui sekaligus memastikan fakta yang ada. Setelah itu, saya berpikir bagaimana memberikan kontribusi pemikiran guna mengurai masalah-masalah tersebut.

Hal yang awalnya hanya sebuah hobi ini ternyata mampu memicu saya untuk memperkaya kemampuan hardskill seperti pengetahuan tentang hukum, pemerintahan dan kebijakan publik, menulis/riset, terampil menggunakan program komputer, mengelola website/blog, dan lain sebagainya. Sedangkan, hubungannya dengan softskill seperti mampu berpikir secara kritis, analitis, sistematis, komperehensif dan konstruktif. Lalu, meningkat pula kemampuan public speaking, kepemimpinan, kreatifvitas dan lain-lain. Disamping itu dalam menulis ada benefit lain berupa menerima honorarium dari media tersebut dan kampus, hehehe. Anyway, itu bukan tujuan ya 😊.

Ketiga, lakukan segala sesuatu yang dicintai dengan penuh rasa bertanggungjawab

Saya mencintai bidang kepenulisan dan kepembacaan. Bak kata pujangga, do what you love and love what you do. Dengan kemampuan menulis saya merasa bertanggungjawab secara moral untuk turut menyuarakan aspirasi masyarakat. Banyak isu yang saya tulis seputar hukum, kriminal, korupsi, birokrasi, pendidikan, perempuan dan anak. Penulis bukan tanpa resiko. Pada saat saya bekerja pertama kali di tahun 2017 sebagai reporter sebuah koran harian di Papua, saya pernah diintimidasi karena menulis mengenai matinya seorang warga lokal yang diduga dibunuh oknum aparat keamanan dan penegak hukum setempat.

Contoh lain, saya merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu pada pendidikan. Waktu itu saya memulainya pada semester empat. Saya bergabung dengan bekerja di sebuah yayasan pendidikan nasional yang memberikan beasiswa dan pendampingan bagi anak-anak yang kurang beruntung dari sisi finansial tetapi punya semangat dan kegigihan untuk tetap bersekolah atau berprestasi. Ada masa dimana kami terjun ke pedesaan dan menapaki jalan-jalan terjal untuk mencari anak-anak calon penerima beasiswa dan bimbingan tersebut. Berbeda lagi dengan kegiatan saya yang lain. Pada kegiatan ini sebagai mahasiswa dan dengan biaya sendiri bersama rekan-rekan lain, kami bertindak melakukan penyuluhan hukum dan pendampingan hukum atas kasus-kasus hukum bagi masyarakat yang tidak mampu membayar advokat/pengacara.

Semua jalan beresiko tetapi kita harus bertanggungjawab pada pilihan kita. Dalam kaitannya dengan dunia kerja, menurut hemat saya contoh-contoh di atas merupakan deskripsi tanggungjawab. Pada sektor yang lain tantangannya pun akan berbeda. Namun, poin penting saya adalah minimal saya belajar untuk mempersiapkan versi diri saya yang terbaik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari mengambil resiko dan tanggungjawab. Toh, kemudian di dunia kerja kita disaring melalui mekanismenya. Ada screening curriculum vitae, pengetasan kemampuan narasi, argumentasi atau hal lain tergantung bidang masing-masing.

Saya bersyukur tiga kali saya melamar pekerjaan dan bekerjasama pada ketiganya, saya menerima atensi dan perlakuan yang luar biasa dari mereka. Semua berkat apa yang telah saya tabur. Salah satu momentum yang menurut saya best moment ialah ketika pada penghujung tahun 2017 ada seorang Corporate Lawyer yang mewawancarai saya untuk mengisi posisi Corporate Legal pada sebuah perusahaan mengatakan:

“Tidak banyak mahasiswa/i yang mau dan rutin menulis apalagi di media massa. Saya pikir ini sangat bagus. Kamu pasti punya ilmu,” pungkasnya dengan mengonfirmasi saya telah diterima sebagai pekerja baru posisi tersebut.

 

Sumber foto:/www.finansialku.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.