KALI INI TIDAK DENGAN BOM

“Katanya agamaku kamu sebut agama teroris, katanya agamaku menyebutmu kafir”

Setelah saya membuat artikel pertama di kolomYOTers  untuk publish visi misi paslon presiden kemarin, saya ter trigger untuk mempublish kata-kata saya yang biasanya saya posting di ig pribadi. Kebetulan saya sangat tertarik dengan nilai perdamaian, bahkan ada kutipan yang selalu menjadi motivasi saya untuk tetap konsisten dengan itu adalah hadist berikut,

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu amalan yang lebih utama daripada derajat shalat,puasa, dan sedekah? Yaitu, menciptakan kedamaian (merukunkan) antara manusia, sebab kerusakan hubungan antara manusia adalah pembinasa agama.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)

Sulit memang jika melaksanakannya sekarang ini, tapi cobalah dari hal kecil terlebih dahulu, pada dasarnya damai itu dimulai dari diri sendiri “Peace be upon you” nilai-nilai tentang menghargai diri sendiri dan orang lain menjadi sangat krusial, apalagi kemampuan untuk kritis menyerap informasi. Ada 3 poin penting yang selalu saya gunakan dalam mengkritisi suatu informasi dari aduan teman,atau gosip sekilas yang kadang bagi sebagian orang memicu terjadinya justifikasi secara sepihak. Tiga poin itu adalah, pertama kita harus tahu bagaimana kondisi saat masalah itu terjadi, bagaimana sudut pandang si pengadu, dan bagaimana sudut pandang pihak yang disalahkan.

Jumat 15 februari kemarin saya saya diberi kesempatan berada ditengah-tengah teman-teman kristiani selama beberapa hari. Tinggal bersama mereka menjadi acuan pembelajaran tersendiri bagi saya tentang dua sudut pandang. Menjadi one and only muslim di antara teman-teman yg 80% berasal dari indonesia timur menjadi tantangan tersendiri. Tapi antusias dari teman-teman sangat luar biasa. Hari pertama saya datang semua pelaksanaan ibadah sholat saya difasilitasi dengan baik meskipun wisma yg digunakan diperuntukan untuk kegiatan ibadah kristen.

saya selalu menerapkan penyebaran nilai perdamaian yang saya lakukan pada diri sendiri dan orang lain. se simple humble dengan orang sekitar, berterimakasih untuk hal-hal kecil dan tidak menekankan pendapat saya dengan mendebatkannya dan tetap menjaga martabat mereka dengan baik, dengan memposisikan diri bahwa “kamu dan aku sama”.

waktu itu saya mengajukan pertanyaan “Jika kami sebagai mayoritas berperilaku tidak baik, semisal kasus penutupan gereja, apa yang dirasakan bapak saat itu?” Waktu itu Pdt Paulus  mengatakan “jika terjadi penutupan geraja yang harus dipertanyakan adalah hubungan kita dengan lingkungan gereja sendiri, apakah kita sudah menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat, Atau apakah kita sudah berbuat kebaikan pada lingkungan sekitar kita” Deg, saya kaget ternyata masih ada pemikiran seperti ini di tengah-tengah hoax negatif yang beredar. Prasangka biar jadi prasangka, tapi yang terpenting bagaimana menciptakan prasangka baik itu sendiri. Memang kita sebagai manusia harus meng intropeksi diri sendiri terlebih dahulu dengan bijak lalu memaksimalkan hubungan kita dengan lingkungan sekitar dan Tuhan.

Saat saya sedang berada dalam jam kegiatan pak pendeta mengingatkan saya untuk melaksanakan sholat magrib ketimbang melanjutkan presentasi terlebih dahulu “Sholat magrib dulu mbak, sudah waktunya. nanti bisa dilanjut lagi” suasana seperti ini menjadi candu buat saya untuk terus menyebarkan nilai perdamaian. Mari terus berkarir dengan meninggalkan jejak positif dan terus berbagi kebaikan. See You On the Top!

 

Let’s make peace not war.

Bisa mampir ke ig saya di @mutiarasrikandi

Leave a Reply

Your email address will not be published.