Anak Muda dan Keresahan yang Fana

Anak Muda dan Keresahan yang Fana.

Iming-iming akan bonus demografi yang menjanjikan era Indonesia emas pada 2045 tepat 100 tahun peringatan hari pembacaan Naskah Proklamasi yang sakral, menghantui setiap langkah anak muda Indonesia, mereka yang disebut sebagai “milenial´ lebih tepatnya.

Terminologis milenial mengarah pada putra-putri bangsa yang lahir pada medio awal 1990an – awal 2000an yang dianggap sebagai mereka yang mampu memprediksi dan mengendalikan millennium baru yang baru terjadi selama 2 kali pada tenggang waktu sesudah masehi.

Konsep akan makna kata milenial seperti tidak memberikan celah untuk menuntut segala kesempurnaan pola pikir dan perilaku para anggotanya untuk bisa melakukan apa yang dainggap tidak bisa dilakukan oleh pendahulunya.. Akumulasi keresahan lintas waktu hingga lintas generasi kini berpindah pikul menjadi beban para milenial, terdengar tidak adil rasanya, namun muncul pertanyaan menerpa benteng idealisme para anak muda “kenapa tidak?”. Mungkin jika dibayangkan, pertanyaan itu bernotasi sinis dan penuh tuntutan.

Beban cukup berat harus diemban, sementara keadaan terkadang membuat ruang gerak tak cukup lapang, anak muda yang katanya milenial tak urung diambang rasa bimbang. Segala beban yang dipikul diarahkan pada tujuan yang satu, kerja efektif dan memberi dampak “positif” secara horizontal atau vertikal. Namun tak semua bisa dipukul rata, dan tidak semua punya privilege yang setara hingga kemudian keresahan yang ada hanya menjadi fana.

Tuntutan kian nyata dan perlu segera dipikirkan, atau mungkin jawaban dari suatu keresahan harus segera direalisasikan. Saut “Anak muda bisa apa?” tak jarang muncul ditengah-tengah perjalanan dalam menemukan upaya penyelesaian keresahan, seakan dipaksa untuk realistis (lagi).

Keresahan akan selalu fana, dan mungkin akan selamanya fana jika kita lupa jati diri kita sebagai seorang manusia. Singkirkan dulu sejenak lalu lalang term milenieal, kembali lah pada konsep dasar manusia sebagai makhluk sosial, bersosialisasi-lah, sederhananya seperti itu. Konsep sosialisasi mungkin tidak terlalu kekinian jika dihadapkan dengan gaya hidup sang milenial, mungkin lebih tepat jika diganti dengan kolaborasi, maka kemudian berkolaborasi-lah. Ada banyak kemungkinan baik yang akan lahir dari pola interaksi yang saling memberikan timbal balik tersebut, kemungkinan paling kecilnya bisa saja berupa hasil tukar pikiran yang selama ini tidak terbesit jika keresahan tersebut hanya berputar di benak sendiri.

 

Tuntutan yang diharapkan mungkin terasa lebih “menyenangkan” bila ia dipikirkan secara bersama-sama, baik dengan mereka yang satu pikiran atau tidak. Keresahan tidak lagi menjadi beban tunggal atas fenomena generalisasi tanggung jawab yang diemban pada mereka para generasi milenial. Akan sangat menakutkan, jika gelombang generalisasi tersebut menjadi momok dan tidak mampu diselesaikan secara individual. Maka ciptakanlah ruang baru, ruang yang mampu mereduksi kemungkinan tanggung jawab tunggal tersebut. Atau setidaknya, apresiasi lah ruang yang sudah ada, itulah yang akan menjadi pondasi mendasar bagi konstruksi atas milenial yang ideal.

Ruang gerak yang membebaskan dan  menyenangkan bisa menjadi bentuk nyata bagi para anak muda tersebut dalam menjawab keresahan-keresahan yang ada. Ada banyak bentuk ruang gerak yang bisa diaplikasikan, setidaknya hal yang medasar ialah ruang gerak tersebut harus adaptif dan kolaboratif, sebab tidak semua anak muda memiliki kesadaran yang sama maka tidak bisa menyalahkan individu sebagai dosa tunggal akan hal itu, ruang gerak itulah yang harus adaptif dan menciptakan iklim yang kolaboratif demi menjamin bahwa tidak ada lagi keresahan yang fana dan tidak melepas diri dari konsep dasar bahwa kita semua harus menjadi manusia dan tetap memanusiakan manusia.

Menjadi manusia berarti tidak bergerak sendiri, bukan tidak bermakna, namun terkadang bergerak secara massal lebih menyenangkan. Young On Top (YOT) satu dari sekian banyak ruang yang mampu memberikan kesempatan bagi siapapun untuk bisa menjadi manusia dan menjawab keresahan sosial yang ada. Let’s Learn and Share With Us!, sebagai suatu misi besar menjadi dasar yang meyakini bawa YOT menyediakan ruang yang adaptif dan kolaboratif bagi mereka para anak muda untuk bisa mencari titik terang dari sebuah keresahan yang “dijadikan” tanggung jawab mereka. Mungkin tidak menjamin suatu kesuksesan, namun setidaknya dengan bergerak bersama mereka para anak muda bisa tahu bahwa keresahan itu tidak lagi fana dan hanya ada di benak mereka saja, keresahan itu nyata dan benar-benar harus segera diselesaikan dengan cara yang menyenangkan dan tidak menjadi beban tunggal

Sumber gambar : https://www.kisspng.com/png-computer-icons-collaboration-teamwork-collaboratio-1405367/preview.html (Diakses pada 25 Maret 2019)

Leave a Reply

Your email address will not be published.